Minggu Sore dan Jadah Goreng Dewi Kanistri

PUNAKAWAN

Hari minggu sore para punakawan ngumpul di rumah Ki Semar di Karang Kadampel. Mereka leyeh-leyeh di beranda. Semar rebahan di lincak (kursi panjang dari bambu) sambil nembang diiringi petikan gitar yang dimainkan oleh Gareng. Mereka memainkan "Always Somewhere"-nya Scorpions. Sementara Petruk dan Bagong bermain sundah mandah di pelataran sambil ber-haha-hehe.



Tak lama kemudian, istri Ki Semar, yaitu Dewi Kanistri alias Dewi Kanastren keluar dari dalam rumah sambil membawa dua tampah yang penuh berisi jadah (ketan uli) goreng yang masih hangat.


Dua tampah??


Iya!! Karena dia tahu, kalau anak-anak angkatnya itu, terutama si bungsu Bagong, ndak akan merasa kenyang kalau hanya makan dua piring. Maklum saja, perutnya memang besar. Nyaris menyaingi bapaknya, Ki Semar, yang perutnya berisi gunung!!

Lagi pula jadah goreng buatan si mboknya Bagong ini memang sangat terkenal enak. Bahkan sangking terkenalnya, Dewi Kanistri tiap seminggu sekali sampai mendapat pesanan jadah goreng dari Amerika, Jerman, Perancis, Italia, Belanda, dan Argentina. Saat ini sedang menjajaki kemungkinan ekspor jadah goreng ke Jepang dan Cina. Jadah goreng istrinya Semar ini memang salah satu komoditi ekspor andalan kerajaan Amarta. Sudah banyak mendatangkan devisa bagi negara.

"Tole.. Bagong.. Petruk.. Sini makan dulu jadahnya.. Mumpung masih anget lho.. "

"Injih mbok.." jawab Petruk.

"Ok mother.." jawab Bagong yang memang dikenal jago bahasa Inggris.
Saking jagonya, terkadang saat ngobrol sama yang orang Inggris asli pun, orang tersebut sampai bingung ndak ngerti si Bagong lagi ngomong apa. Kata bagong, bahasa yang dia pakai itu disebut bahasa "Kromo Inggeris".

Akhirnya mereka pun duduk bersama sambil menikmati jadah goreng bikinan sang ibu, Dewi Kanastren. Sementara sang ibu kembali masuk ke dapur, menyiapkan teh manis buat anak-anaknya. Dia takut nanti kalau ndak minum, anak-anaknya bisa keselek jadah. Bisa-bisa muka anak-anaknya yang sudah jelek-jelek dan hancur itu semakin mengenaskan kalau sampai keselek.

Sambil menikmati, mereka ngobrol ngalor ngidul membahas dinamika yang terjadi di masyarakat kerajaan Amarta pada umumnya, dan di desa Karang Kadampel pada khususnya.

"Romo, panjenengan sebagai sesepuh sebaiknya segera bertindak lho. Keadaan di kampung kita ini semakin gawat. Anak-anak mudanya sedang terjangkit penyakit judi dan mabuk-mabukan yang sangat parah. Padahal mereka itu calon-calon pemimpin masa depan.." kata Gareng sambil menyambar sepotong jadah goreng.

"Benar kata kang Gareng niku, romo.. Mesakke mereka.. Kasihan.. Mereka yang seharusnya punya masa depan cerah, sekarang malah pada jadi junkies dan maniak judi.. Jadi malas dan ndak suka bekerja keras.." tambah Petruk sambil ikutan menyambar dua potong jadah dan langsung dimasukkan ke mulutnya.

Ki semar tidak menjawab, tetapi melirik ke arah Bagong. Biasanya anaknya yang satu ini suka nyeplos sembarangan. Dia pengen tahu pendapat anaknya yang satu ini.

Tapi ternyata si Bagong tidak berkomentar apa-apa. Hanya tangannya yang langsung menyambar tujuh potong jadah sekaligus dan langsung dimasukan semua ke dalam mulutnya. BETT!! Secepat kilat tujuh potong jadah itu sudah berpindah tempat dari tampah ke dalam mulutnya. Entah dikunyah atau tidak, yang jelas jadah itu hanya lewat begitu saja di mulutnya, dan langsung mendarat di perutnya yang buncit. Dan saat itu juga tangannya kembali menyambar tujuh potong jadah lagi.

Melihat itu, Gareng dan Petruk ndak mau ketinggalan, mereka juga secepat kilat menyambar beberapa potong jadah yang ada di depannya, menelannya, kemudian menyambar lagi, lalu menelan lagi, terus menyambar lagi, dan menelan lagi. Dan begitu seterusnya. Jadilah perlombaan makan jadah yang ndak kalah seru dari perlombaan makan kerupuk 17 Agustusan.

Sampai tiba-tiba..

"EHEMM...!!! Kok tiba-tiba wetengku mules yo?? Rasanya jadi pengen ngentut.." ujar Semar datar.

Mendengar itu, ketiga anak Semar kaget dan spontan menghentikan perlombaan mereka. Siapa yang sanggup nahan kentut Semar? Sebelas gunung segede gunung Merapi pun bisa rata kalau dientuti Semar.

"Duh romo Semar.. Saya minta maaf atas kehilafan saya.. Tadi saya terbawa suasana.." kata Gareng ketakutan.

"Benar romo.. Tadi saya juga cuma kepancing emosi.. Maafkan saya juga ya.." kata Petruk gemetaran karena sudah pernah melihat sendiri kedahsyatan kentutnya Semar.

Mendengar itu, Semar cuma mesem dan kembali melirik Bagong. Ternyata, Bagong masih lanjut nyambar jadah, meskipun sekarang sudah tidak seganas tadi. Sekarang pelan-pelan dan sepotong-sepotong.
"Bagong,.. Nek kowe piye, le..??"

"Piye apane to, Mar?? Jadahe enak lho.. Si mbok memang jago ngolah masakan.. Ndak kalah sama cheff Farah Quinn.." kata Bagong sambil tetap makan. Hanya saja, kali ini jadah itu dikunyahnya. Tidak lagi langsung ditelan seperti tadi.

Semar tertawa terkekeh. Dewa yang menjelma ke bumi dan awet tua itu kemudian berkata, "Sekarang perutku sudah baikan.. Sudah ndak mules lagi.. Ndak kerasa pengen ngentut lagi..."

Mendengar itu wajah Gareng dan Petruk menjadi cerah. Ada perasaan lega dari hatinya. Tidak jadi dientuti Semar. Dan romonya itu ternyata memang tidak marah.

"Aku ndak melarang kalian makan jadah ini, le.. Hanya saja, makan pun juga ada adab dan batasannya.. Seenak apapun jadah goreng bikinan si mbokmu ini, kalian harus tetap dapat mengendalikan diri dan jangan sampai diperbudak nafsumu.
Sama halnya anak-anak muda kampung kita yang lagi teler sama judi dan mabuk. Mereka awalnya merasakan manisnya menang berjudi.. Kemudian tak bisa mengendalikan diri, dan akhirnya jadi kecanduan.. Setelah kalah banyak, mereka jadi stress dan mencari pelarian ke alkohol dan narkotika.. Dan akhirnya mereka pun teler dan kecanduan mabuk..
Kalau kita sudah terjerumus ke dalam jeratan nafsu, kita akan diperbudak nafsu.. Dan tidak ada lagi yang bisa menolong kita selain diri kita sendiri.. Hanya keinginan yang kuat dan ketetapan hati untuk menjaga diri lah yang bisa kita gunakan untuk keluar dari lingkaran sesat tersebut.." Kata Semar memberi wejangan kepada anak-anaknya.

"Jadi kita ndak bisa menolong anak-anak muda itu, romo??" tanya Gareng.

"Jadi hanya keinginan yang kuat dari hati mereka saja yang bisa menolong mereka, romo??" tanya Petruk.

"Jadi aku boleh ngabisin semua jadah goreng ini to, Mar??" tanya Bagong sambil terus makan.

Mendengar pertanyaan anak-anaknya, Ki Semar kembali terkekeh.
"Tidak juga, Reng..Truk.. Kita bisa membatu mereka memulihkan harapan mereka untuk sembuh.. Membangkitkan semangat mereka untuk kembali menata hidup mereka.. Dan menjaga mereka yang belum terkontaminasi, agar jangan sampai tertular ikut-ikutan mabuk dan berjudi.. Itu yang bisa kita lakukan.. Sementara para bandar judi, bandar narkotika, dan bandar minuman keras, biar di urus sama polisi saja.. Mereka lah yang berkewajiban menegakkan hukum di negara Amarta ini.." jawab Semar.

"Loh, pertanyaan ku kok ora dijawab to, Mar?? Aku boleh ngabisin jadah goreng ini ndak??" tanya Bagong setengah memprotes.

"Boleh, le.. Kamu boleh makan jadah ini sebanyak yang kamu mau.. Tapi pelan-pelan ya.. Jangan terburu-buru.. Dan ingat sama kedua kakakmu ini.. Mereka juga pengen menikmati jadah goreng bikinan si mbokmu ini.." kata Semar.

Saat itu muncullah Dewi Kanestren membawa seteko besar teh manis dan empat buah gelas besar.
"Wah.. Jadah gorengku laku ya?? Makan yang banyak ya, le. Ndak usah kuatir kehabisan.. Masih ada setampah lagi yang baru mateng di belakang..." Kata si mboknya Gareng, Petruk, dan Bagong itu.

"Ok mother.. This is the best jadah in the world!!" kata Bagong sok Inggris.

Dewi Kanistri merasa senang. Ndak sia-sia dia menyekolahkan anak-anaknya. Karena si Bagong memang sekarang jadi jago berbahasa Inggris. "Kromo Inggeris" malah..!!

Lagi asyiknya mereka ngobrol-ngobrol, tiba-tiba entah dari mana nongol Prabu Kresna dan Prabu Harjuna.
"Kulonuwun kakang Semar.." sapa mereka.

"Wealaahh... Monggo.. Monggo mriki.. Gusti Prabu Kresna.. Ndoro Harjuno.." jawab para punakawan.

"Ada apa ini kok tumben sore-sore berkunjung ke sini??" tanya Ki Semar setelah mempersilahkan mereka duduk.

"Ah, ndak ada opo-opo kok Kang Semar.. Kami hanya jalan-jalan sore dan mampir ke sini saja.." jawab Prabu Kresna sambil tersenyum penuh arti.

"Halaaaahhh... Bilang saja mau ikutan makan jadah goreng.. Iya to?? Hayo ngaku..!!" ujar Bagong setengah menyelidik.

"Hush!! Menengo kowe, Gong!!" kata Gareng.

"Ndak sopan kamu, Gong.." petruk pun ikut menimpali.

"Kenapa harus meneng??? Apane sing ora sopan?? Kan kenyataannya memang begitu to?? Lagian jadah goreng buatan si mbok kita ini memang enak kok. Ndak ada salahnya to para ratu makan jadah bareng sama punokawan..?? Ndak ada yang salah to??" cerocos Bagong setengah protes.

Ki Semar, Prabu Kresna, dan Prabu Harjuna hanya tersenyum mendengar omongan si Bagong.

"Yo wis.. Aku ngaku.. Kami ke sini memang pengen ikut menikmati jadah goreng bikinan mbok kalian.. Ndak apa-apa to??" kata Prabu Kresna.

"Oh, mboten menopo-nopo kok, kanjeng Prabu.. Monggo didahar.. Sebentar saya ambilkan gelas lagi.." kata Dewi Kanistri yang kemudian langsung masuk ke dalam, kemudian keluar lagi sambil membawa dua buah gelas besar dan setampah jadah goreng. 

Total sudah tiga tampah jadah goreng yang dikeluarkan oleh si mboknya Bagong. Dan itu adalah setampah terakhir. Sudah ndak ada stok jadah lagi di rumah Ki Semar.

Akhirnya mereka pun kembali menikmati jadah goreng sambil ngobrol ngalor-ngidul.
Beberapa kali Ki Semar terkekeh. Dan kemudian terbatuk.
"Uhuk.. Uhuk.."

Mendengar batuknya semar itu, dengan segera Bagong masuk ke dalam rumah. Kemudian keluar membawa pacul, dan langsung menuju halaman samping rumah dan mulai memaculi tanah di sana.

Melihat kelakuan Bagong itu, mereka semua terheran-heran. Kecuali Ki Semar tentunya. Dia memang bukan tipe orang yang gampang gumun.

"Gong, ngapain kamu??" tanya Gareng.

"Udah jelas lagi menggali tanah gini kok masih tanya to, Reng?? Mbok jadi orang tu jangan kebangetan gobloknya..!!" jawab Bagong cuek.

Seketika itu juga wajah Gareng jadi mbesengut. Rupanya sewot sama adiknya dia.

"Iya.. Kamu lagi menggali tanah.. Tapi maksudnya kang Gareng ini, buat apa kamu menggali tanah, gong??" tanya Petruk.

"Loh?? Apa kalian tadi ndak denger Semar batuk? Aku lagi nyiapin lubang kuburan buat dia ini. Aku yakin sebentar lagi dia ko'it. Sudah terlalu lama dia hidup. Sudah tua bangka dia.Siapa tahu Ismaya sudah bosan tinggal di badannya yang mirip gentong raksasa itu.." jawab Bagong sekenanya.

Mendengar itu, Gareng langsung emosi. Dia lupa di situ ada Prabu Kresna dan Prabu Harjuna. Dia langsung berdiri bertolak pinggang dan mencak-mencak kepada Bagong.
"Dasar bocah kurang ajar!! Sama bapaknya sendiri kok ngomongnya gitu!? Sudah ndak pernah manggil romo atau bapak, sekarang malah mengharapkan bapaknya mati. Apa sebenernya yang kamu mau itu, Gong??"

"Siapa bilang aku mengharapkan Semar mati, goblok?? Aku ini cuma berjaga-jaga kalau-kalau dia segera mati!! Sudah kubilang dia sudah terlalu lama hidup.. Sapa tahu hari ini mati.." jawab Bagong.

Gareng jadi semakin emosi.. Hendak dijewernya bibir Bagong yang sudah dower itu. Tapi Semar segera bertindak.

"Sudah-sudah.. Malu ini lo sama tamu kita.." kata Semar.

Gareng pun segera menyadari keadaan. Segera menyembah dan minta maaf kepada kedua raja tersebut. 

Kemudian dia berkata kepada Ki Semar, "Mbok si Bagong itu di beri teguran keras to, romo.. Dia itu semakin hari semakin kurang ajar kepada njenengan.."

"Kamu itu seperti tidak mengenal adikmu to, Reng.." jawab Ki Semar.
"Gong.. Ke sini le.. Bapakmu ini belum akan mati dalam waktu dekat.. Ndak usah bikin liang kubur dulu.. Ismaya masih nyaman di dalam badan ini.. Jelaskan secara baik-baik kepada kakangmu Gareng tentang maksudmu jaga-jaga untuk kematianku.." kata Semar.

Bagong menghentikan kegiatannya. Kemudian kembali lagi ke beranda, minum teh, dan menyambar sepotong jadah goreng buatan si mboknya.
"Kenapa to kalau aku ngomongin kematian Semar kamu kok sewot gitu, Reng?? Padahal kematian itu hal yang sangat wajar lho.. Semua yang hidup pasti akan mati.. Walau sebesar apapun cintamu kepada Semar, kamu tetap tidak akan bisa menghalangi kematiannya jika memang sudah tiba waktunya.. Lagipula kematian bukan hanya merupakan suatu akhir dari kehidupan, tapi juga merupakan awal dari kehidupan yang sebenarnya.. Kehidupan ruh yang kekal, yang tak akan mati lagi..
Semar seorang manusia yang mulia dalam kehidupan ini.. Tapi bukankah dia memang lebih mulia dari pada para dewa?? Bukankah dia adalah Sang Hyang Ismaya, yang semua dewa pun akan menghormatinya??
Saat mati, dia bukan lagi Semar yang berwujud gendut, jelek, dan tua bangka.. Tapi seorang dewa tampan yang gagah perkasa.. Bukankah keadaan itu jauh lebih baik daripada sekarang?? Bukankah seorang dewa lebih mentereng daripada hanya seorang emban??
Semar dan aku tidak dilahirkan, tapi kebanyakan manusia menangis waktu dilahirkan.. Lalu apakah kita juga akan menangis waktu mati??
Orang yang ikhlas akan keadaan dirinya dan kehidupannya akan mati tanpa merasa terbebani.. Mungkin mereka lah yang akan mati dalam keadaan tersenyum.. Karena sudah merasa menunaikan tugasnya sebagai manuasia.. Karena merasa sudah ikhlas menerima kematiannya dan meninggalkan segala kegemerlapan dunia.. 

Tapi berapa banyak orang yang seperti itu?? 

Apakah lebih banyak dari pada orang yang masih merasa terbebani saat kematiannya?? Yang masih menginginkan gemerlapnya dunia?? Yang masih mengkhawatirkan keluarganya atau kekayaannya?? Yang tidak akan pernah merasa siap untuk mati??
Akan lebih baik jika kita mulai belajar untuk ikhlas.. Ikhlas untuk hidup, ikhlas untuk mati, dan ikhlas untuk ditinggal mati.. Tidak ada pertemuan tanpa perpisahan.. Saat orang yang kita cintai pergi, hanya keikhlasan untuk melepasnya yang bisa membuat kita tetap tegar.. 

Jikalau Semar mati, apakah kamu juga akan mencak-mencak dan marah-marah kepada Yang Maha Kuasa?? Apakah kamu akan mengejar ruhnya dan memasukkannya kembali kedalam badan jeleknya ini?? Tentu tidak kan??" cerocos Bagong sambil terus menyambar dan memakan jadah.

Kecuali Semar, semua yang ada di situ terbengong-bengong mendapatkan ceramah dari Bagong. Mereka tidak menyangka, Bagong yang biasanya kalau ngomong main nyerocos saja tanpa difikir itu ternyata bisa juga berbicara dengan penuh makna dan penuh gaya.

Mereka menyadari bahwasanya Bagong tercipta dari bayangan Semar itu sendiri saat Sang Hyang Ismaya menitis ke bumi sebagai Semar. Jadi sebenarnya Bagong sudah sama tuanya dengan Semar. Hanya saja titisan Sang Hyang Ismaya itu sejak awal memang berwujud orang tua. Sedangkan si Bagong berwujud anak-anak dan tak pernah tua.

"Lagian Ismaya ini memang dewa yang GUOBLOK, kalau ndak mau disebut aneh.." Bagong melanjutkan. "Mosok dewa yang paling disegani dan di hormati semua dewa di kahyangan kok menitis menjadi seorang abdi..??
Sama saja dengan Bambang Tejamantri alias pakdhe Togog!! 


Tapi itu lah istimewanya mereka.. Mereka bersedia menitis sebagai wong cilik.. Tidak membeda-bedakan kasta atau golongan.. Lain halnya dengan batara Wisnu.. Asal nitis, kalau ndak jadi brahmana, pasti jadi ksatria.. Ndak tanggung-tanggung, ksatria pun pasti selalu raja.. Ndak pernah cuma jadi prajurit.." lanjut Bagong sambil terus makan jadah.
Prabu Kresna

Mendengar perkataan Bagong, wajah Prabu Kresna menjadi merah. Dia merasa tersinggung dengan ucapan si Bagong.. Perkataan jujur seorang kawulo alit..Dia berdehem dengan agak keras, " EHEEMMM...!!"

"Kenapa gusti Prabu Kresna?? Sakit tenggorokan ya?? Atau masuk angin?? minta dikeroki Petruk itu lho.. Dia jago kalau disuruh ngeroki.." kata Bagong dengan wajah tanpa dosa.

Melihat sikap Bagong yang seperti itu, Prabu Kresna jadi semakin senewen. Mukanya ditekuk, bibirnya monyong. Titisan Wisnu itu jadi sewot.

Prabu Harjuna hanya bisa tertawa dan meledek sepupu sekaligus kakak iparnya itu. "Hehehehee.. Kena kamu kakang Prabu Kresna.."

"Begitulah Wisnu kalau menitis.." lanjut Bagong.. "Apalagi adiknya si Jisnu.. Sekalinya menitis, langsung jadi ksatria tukang kawin..Asal lihat perawan mulus dikit langsung di kejar.. Istrinya ndak terhitung lagi jumlahnya.. Para bidadari yang di kahyangan aja ada banyak, apa lagi yang di bumi.. Anaknya sampai bececeran di mana-mana.."

Prabu Harjuna

"Wahahahahaaa... Kamu juga kena, Harjuna.." kata Prabu Kresna sambil menahan tawa.

Sekarang giliran Prabu Parjuna yang mbesengut karena merasa tersindir oleh perkataan abdinya itu. Perkataan yang benar adanya dan tanpa dibuat-buat. Ungkapan jujur dari apa-apa yang dilihat rakyat jelata atas tingkah polah para pemimpinnya.

"Intinya adalah ikhlas.."  Bagong melanjutkan.  "ikhlas menjalani hidup, ikhlas menjalankan kewajiban sebagai manusia, ikhlas menerima dan menjalani kematian, dan ikhlas untuk ditinggal mati.

 
Karena tidak ada pertemuan tanpa perpisahan.. sebesar apapun kecintaan kita terhadap seseorang atau sesuatu, kita harus tetap rela jika sudah tiba saatnya untuk berpisah.." kata Bagong sambil melihat ke arah ufuk di barat.


"Hari sudah sore, sekarang saatnya saya pulang.. Saya pamit dulu.." kata Bagong..

"Heii.. Tunggu dulu.. Mosok cuma kamu saja yang ngomongin kami para pemimpin?? Sebagai pemimpin kami juga butuh untuk kamu dengarkan.. Ada yang mau kuomongin tentang kamu.." kata Prabu Harjuna.

"Maaf ndoro Harjuna.. Bukannya saya ndak mau mendengarkan njenengan.. Tapi sebentar lagi malam.. Saya harus pulang.. Lagi pula jadah gorengnya si mbok juga sudah habis.." kata Bagong sambil ngeloyor pergi.

Kecuali Semar, semua yang ada di situ terkejut. Rupanya mereka tadi terlalu serius mendengarkan ceramahnya si Bagong, sampai-sampai mereka ndak menyadari bahwa Bagong telah menghabiskan semua jadah yang tersisa.

"Waduh.. Padahal aku baru makan satu potong.." kata Prabu Kresna.

"Sama.. Aku juga baru dapet sepotong.." sahut Prabu Harjuna.

Serentak mereka melirik ke arah Dewi Kanistri.

"Waduh.. Mohon maaf gusti Prabu Kresna dan Prabu Harjuna.. Stok jadah saya sudah habis.. Jikalau berkenan, silakan besok mampir lagi kemari.. Biar saya buatkan lagi.. Heheheheee..." kata si mboknya Bagong.

Apa boleh buat. Hari memang sudah senja. Dan jadah goreng pun sudah habis. Akhirnya Petruk, Gareng, Prabu Kresna, dan Prabu Harjuna pun pamit pulang ke rumah masing-masing. Besok, mereka akan datang lagi untuk menikmati enaknya jadah ketan yang sudah terkenal sampai mancanegara.

"Anak kita itu memang nakal ya, kakang Semar.." kata Dewi Kanistri sambil mengiringi Ki Semar masuk ke dalam rumahnya.

"Yah itu lah anak kita, diajeng.. itu lah si Bagong.." sahut Ki Semar.

Malam pun menyelimuti desa Karang Kedampel. Bintang-bintang bersinar menghiasi langit malam yang tenang dan damai.



Ki Lurah Semar

5 komentar:

stephy 13 Januari 2012 pukul 14.10  

bagus bgt kk. banyak pelajaran tentang kehidupan yg bisa diambil dari cerita diatas.

saran q, tolong lebih di munculin lagi sisi jenaka dr bagong, petruk dan gareng. ditambah komedi2 ringan, pasti bakal lebih menarik :)

cindelaras 15 Januari 2012 pukul 22.03  

@stephy : terimakasih sudah mampir dan baca cerpenku, stephy... :)
sarannya bagus.. nanti aku aplikasikan buat cerpen2 wayangku yang lain...
makasih ya... :)

cindelaras 9 Februari 2012 pukul 18.37  

@ary putra : terimakasih atas kunjungannya, kawan..
tapi mohon maaf, komen anda terpaksa saya hapus karena saya anggap sebagai spam.
mohon untuk tidak menyertakan link hidup pada komentar anda.

MuhamMad IrwansyAh 9 Mei 2012 pukul 18.03  

haduh panjang euy Semabgat bener ngetik artikel nyaa :D
haha folowback yaa blog saye http://mylintas.blogspot.com/

Ary kanastren 28 Agustus 2013 pukul 09.30  

Aq suka artikelnya, aq sengaja cari artikel ttg dewi kanastren, krn kebtulan ortuku memberi nama yg sama u aq

Posting Komentar

boleh copy-paste, namun mohon sertakan link langsung ke sumber postingannya. :)



Stats


Google PageRank Checker